oleh

Datangi Kejagung, Panglima TNI Dukung Pengusutan Proyek Satelit Kemenhan

Jakarta –  Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menyambangi kantor Kejaksaan Agung.

Ia secara khusus membicarakan kasus proyek pembuat dan penandatanganan kontrak Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) Kementerian Pertahanan (Kemenhan) pada 2015-2016.

Dalam proyek tersebut, negara ditaksir rugi hingga ratusan miliar. Kasus ini tengah ditangani Kejaksaan Agung. Kejagung telah menaikkan statusnya menjadi penyidikan.

Andika Perkasa menyampaikan, pihaknya mendukung pemerintah untuk memproses hukum kasus tersebut.

“Saya siap mendukung keputusan dari pemerintah untuk melakukan proses hukum,” ujar Andika kepada wartawan di Kejagung, Jumat (14/1).

Dukungan tersebut tidak terlepas dari adanya dugaan keterlibatan oknum TNI pada pengadaan satelit di Kemenhan pada 2015 silam.

Hingga saat ini, ia masih menunggu daftar nama prajurit yang diduga kuat terlibat pada kasus penyalahgunaan wewenang tersebut.

“Jadi kami menunggu nanti untuk nama-namanya yang memang masuk dalam kewenangan kami,” ujarnya.

Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut, kasus tersebut akan masuk ke tahap penyidikan.

Pihak Kejaksaan Agung bakal menandatangani surat perintah penyidikan secepatnya.

“Nanti akan kami tanda tangani surat perintah penyidikannya,” kata Burhanuddin.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan yang terjadi di lingkungan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) pada 2015.

Akibat penyalahgunaan kewenangan itu, negara terancam rugi hingga kurang lebih Rp 800 miliar.

Mulanya, Kemenhan ingin membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Kemenhan lalu meminta kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk bisa mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur sehingga dapat membangun Satkomhan.

Kemenhan lantas membuat kontrak dengan PT Avanti Communication Limited untuk menyewa Satelit Artemis pada 6 Desember 2015. Pada saat membuat kontrak itu, Kemenhan ternyata tidak memiliki anggaran untuk membayarnya.

“Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat Satkomham, satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada,” kata Mahfud dalam konferensi pers yang disiarkan melalui YouTube Kemenko Polhukam, Kamis (13/1).

Karena belum ada pembayaran sewa yang masuk, maka PT Avanti menggugat Kemenhan ke London Court of International Arbitration pada 9 Juli 2019.

Hasilnya, pengadilan tersebut menjatuhkan putusan negara harus mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan dan biaya filling satelit sebesar Rp 515 miliar.

Bukan hanya dengan PT Avanti, Kemenhan pada saat itu juga melakukan kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016.

Mahfud menerangkan, pihak Navayo juga telah menandatangani kontrak dengan Kemenhan, menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance. Namun, tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemenhan dalam kurun waktu 2016-2017.

Akhirnya, Navayo mengajukan tagihan sebesar USD 16 juta ke Kemenhan. Namun pada saat itu, pemerintah menolak untuk membayar.

Akibatnya, Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura.

Berdasarkan putusan pada 22 Mei 2021, Pengadilan Arbitrase Singapura memerintahkan Kemhan untuk membayar USD 20.901.209 atau sekitar Rp 299 miliar kepada Navayo.

Kemenhan juga bisa berpotensi kembali ditagih pembayaran oleh perusahaan lain yakni Airbus, Detente, Hogan Lovells dan Telesat karena sudah menandatangani kontrak sewa. (Knu)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed