SuaraKejaksaan.Com – Banyak kasus-kasus hukum yang dinilai penegakannya menciderai keadilan bagi masyarakat. sudah jadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia selama ini ibarat pisau yang tumpul ke atas, tapi tajam ke masyarakat bawah.
Jaksa Agung RI Burhanuddin kepada jajarannya mengingatkan bahwa menjadi jaksa jangan asal-asalan menuntut tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat.
“Saya tidak menghendaki ketika saudara menjadi jaksa melakukan penuntutan asal-asalan tanpa melihat rasa keadilan di dalam masyarakat,” ujar Jaksa Agung saat ceramah di hadapan jajarannya dalam suatu kesempatan.
Menurut Jaksa Agung, menuntut bukan hanya sebatas menghukum orang.
“Ingat itu! Melainkan lebih dari itu. Menuntut adalah bagaimana memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi seseorang dengan berpangkal pada hati nurani kelian,” tegasnya.
Kenapa harus hati nurani? Karena, menurut Jaksa Agung, beranjak dari tataran empiris bahwa penegakan hukum selama ini cenderung pada legalitas formal pada aspek kepastian hukum semata ketimbang rasa keadilan dan kemanfaatan hukum yang lebih substansial bagi masyarakat.
Jaksa Agung mengaku tak bisa menutup mata dari sejarah kelam penegakan hukum yang berkembang di Indonesia. Sudah beberapa kali penegakan hukum justru malah menciderai rasa keadilan masyarakat.
“Contohnya kasus Nenek minah yang melakukan pencurian 3 buah kakao. Kemudian divonis 1 bulan 15 hari penjara, dengan masa percobaan 3 bulan,” ungkap Jaksa Agung.
Kasus Nenek Minah ini, menurut Jaksa Agung, telah mengusik rasa keadilan banyak pihak.
“Karena hanya dengan tiga buah kakao, seorang nenek yang sudah tua renta tetap menjadi diproses hukum yang panjang,” tambahnya.(Dwi.A.R)
Komentar