oleh

Jaksa Agung ST Burhanuddin: Keadilan Substantif dalam Penegakan Hukum

Jakarta, – Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain

berdasarkan undang-undang. Dalam menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman, Kejaksaan melaksanakannya secara merdeka.

Pelaksanaan kekuasaan Negara di bidang penuntutan, Kejaksaan berwenang untuk dapat

menentukan suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan dan memiliki arti penting dalam

menyeimbangkan antara aturan yang berlaku (rechtmatigheid) serta interpretasi yang bertumpu

pada tujuan atau asas kemanfaatan (doelmatigheid) dalam proses peradilan pidana. Hal ini

menunjukkan adanya perubahan paradigma penegakan hukum dari formalistik ke keadilan

hukum substantif, sehingga Kejaksaan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia

Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif,

terlebih lagi diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang

Kejaksaan RI sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf b dan c yang pada pokoknya mengatur

turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban, serta

proses rehabilitasi, restitusi, dan kompensasinya.

Kewenangan Jaksa dalam melaksanakan diskresi penuntutan (prosecutorial discretion),

dilakukan dengan mempertimbangkan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat,

kearifan lokal, serta nilai-nilai moral, etika, dan keadilan dalam masyarakat. Hal ini memiliki arti

penting dalam rangka mengakomodir perkembangan kebutuhan hukum dan rasa keadilan di

masyarakat, serta menuntut adanya perubahan mindset, perilaku, dan kepastian hukum yang

diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, sebagai seorang Jaksa harus mampu menggali nilainilai hukum dalam masyarakat sehingga penegakan hukum mampu beradaptasi dengan

kebutuhan hukum masyarakat, sebab Jaksa bukan cerobong undang-undang yang bersifat kaku,

baku, dan membeku.

Sehingga Jaksa Agung sering mengimbau para Jaksa “untuk menggunakan hati nurani di setiap

pengambilan keputusan dalam proses penegakan hukum, karena hati nurani tidak ada dalam

buku. Gunakan kepekaan sosial saudara-saudara,” ujar Jaksa Agung. Hal tersebut mendasari

bahwa keadilan formalistik yang dibelenggu aturan bersifat kaku demi mengejar kepastian hukum

tidak lagi dapat dipertahankan. Namun di era saat ini, sudah berkembang dan beradaptasi

dengan kebutuhan rasa keadilan dalam masyarakat yang disebut dengan keadilan substantif.

Ketika Jaksa Penuntut Umum harus menyatakan sikap banding atau tidak, wajib

mempertimbangkan dinamika hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat selama ini

dengan menggunakan standar dan syarat-syarat tertentu yang sangat ketat. Menarik dikaji dalam

kasus yang sangat prestisius dan viral belakangan ini yakni perkara Terdakwa FERDY SAMBO

dan kawan-kawan, berdasarkan survei menunjukkan 92% penduduk Indonesia yang sudah

berusia 17 tahun keatas mengetahui dan mengikuti perkembangan kasus tersebut. Bahkan salah

satu stasiun televisi nasional menyatakan 50 juta views pemirsa setiap harinya menyaksikan

proses persidangannya, sehingga tidak sedikit masyarakat menyampaikan ekspresinya seperti

kecewa, puas, atau hanya sekedar menjadi pengikut, dan juga tidak sedikit diantara mereka

membentuk fanbase. Fenomena tersebut merupakan representasi dari keadilan masyarakat

yang sesaat dan tentu perlu dikaji seberapa jauh dan banyak suara tersebut menjadi representasi

keadilan substantif (masih menjadi perdebatan), terkadang tidak mewakili kata hati seluruhnya.

Sebagai salah satu contoh yaitu penerapan restorative justice yang digali dari kearifan lokal

masyarakat membangun nilai-nilai keadilan berdasarkan standar cukup ketat misalnya pelaku

tindak pidana bukan residivis, perbuatan tidak berdampak luas dan adanya pemberiaan maaf dari

korban (keluarga korban), dan sebagainya. Tentu tidak ada tindak pidana yang identik walaupun

kategori perbuatan dan pasal yang didakwakan sama. Sebab pasti memiliki perbedaan motif,

motivasi, modus operandi, serta dampaknya, sehingga kita tidak bisa memberikan kriteria,

batasan, serta syarat-syarat atas keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Semua itu

sangat tergantung dari respon dan reaksi masyarakat secara luas dan masif, serta berbagai

platform media juga sangat berperan dalam menggiring atau membentuk opini masyarakat

sehingga rasa keadilan itu terbentuk mulai dari opini, pendapat, dan akhirnya menjadi sebuah aspirasi yang berkembang begitu cepat dan masif. Pada akhirnya Jaksa sebagai dominus litis

suatu perkara harus mampu membawa arah penegakan hukum khususnya tindak pidana mulai

dari hulu sampai hilir (yakni mulai dari penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan, penuntutan,

proses pemeriksaan di persidangan, hingga proses eksekusi) guna mencapai arah penegakan

hukum yang dapat beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat, arah penegakan hukum

yang mengakomodir kepentingan masyarakat, dan arah penegakan hukum sebagai solusi

berbagai persoalan hukum di masyarakat, “sehingga Jaksa yang modern di masa yang akan

datang bukan saja sebagai Jaksa humanis dari segi penegakan hukum, tetapi dapat menjadi

bagian dari jawaban/solusi persoalan-persoalan hukum di masyarakat,” tegas Jaksa Agung.

Liputan Sri Imelda