JAKARTA – Tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung telah mendapatkan alat bukti yang cukup untuk menahan tujuh orang tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018 sampai 2023. Kerugian negara dalam perkara ini sekitar Rp193,7 triliun.
Demikianlah hal itu diungkapkan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung bersama Direktur Penyidikan (Dirdik) pada JAM Pidsus Kejaksaan Agung Abdul Qohar dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (24/2/2025) malam.
“Penyidikan ini dimulai setelah tim berhasil mengumpulkan bukti yang cukup, termasuk pemeriksaan terhadap 96 saksi, dua ahli, dan penyitaan dokumen serta barang bukti elektronik.
Berdasarkan bukti tersebut, pihak penyidik menetapkan tujuh orang tersangka,,” ujar Kapuspenkum Kejagung Dr. Harli Siregar.
Lebih lanjut Harli Siregar menjelaskan inisial ketujuh tersangka ini. Menurutnya mereka sebagian para pejabat tinggi di PT Pertamina dan sejumlah pihak terkait, diantaranya, yaitu:
1. RS, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
2. SDS, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional.
3. YF, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
4. AP, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
5. MKAR, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
6. DW, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim.
7. GRJ, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
“Ketujuh tersangka ini ditahan selama 20 hari ke depan setelah dinyatakan sehat secara medis dan dipindahkan ke rumah tahanan negara,” jelasnya.
Dugaan Tindak Pidana Korupsi
Harli mengungkapkan bahwa kasus ini mencuat setelah ditemukan adanya pengaturan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, dengan merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp193,7 triliun.
“Para tersangka diduga mengatur pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang melalui proses yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, termasuk pemufakatan harga dan manipulasi tender,” ungkapnya.
Dalam penyidikan, kata Harli ditemukan adanya pemufakatan antara pejabat PT Pertamina dan pihak broker untuk membeli minyak mentah dan produk kilang dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga seharusnya, yang akhirnya merugikan keuangan negara.
“Penyidik juga mengungkapkan adanya manipulasi dalam pengolahan produk kilang, seperti pembelian bahan bakar Ron 92 dengan kualitas yang lebih rendah (Ron 90) yang kemudian dicampur (blending), yang jelas melanggar aturan,” katanya.
Selain itu, proses pengadaan produk kilang juga dibarengi dengan mark up biaya pengiriman oleh PT Pertamina International Shipping yang melibatkan tersangka YF, yang menyebabkan negara harus menanggung biaya lebih tinggi.
Kerugian Negara Rp193,7 Triliun
Berdasarkan hasil penyidikan, kata Harli kerugian negara diperkirakan berasal dari beberapa sumber, antara lain, kerugian akibat ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun. Lalu kerugian akibat impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun.
Selain itu, kerugian akibat impor BBM melalui broker sekitar Rp9 triliun, kerugian akibat pemberian kompensasi BBM pada tahun 2023 sebesar Rp126 triliun dan kerugian akibat pemberian subsidi BBM pada tahun 2023 sebesar Rp21 triliun.
Menurut Harli, dalam penyidikan juga ditemukan bahwa pengaturan harga impor minyak mentah dan produk kilang dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu, termasuk melalui proses pemilihan broker yang telah disiapkan sebelumnya.
“Terdapat upaya untuk merugikan negara dengan menurunkan produksi minyak mentah dalam negeri dan memperbesar ketergantungan pada impor.
Akibat perbuatan tujuh tersangka ini, mereka dijerat dan diancam dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Amri)