oleh

Izin Jaksa Agung dan Potensi Konflik Kepentingan Penindakan terhadap Jaksa

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), Rabu (23/4/2025). Sidang beragendakan pemeriksaan pendahuluan ini digelar di Ruang Sidang MK.

Permohonan Perkara Nomor 26/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh dua warga negara Indonesia, yakni Stepanus Febyan Babaro, seorang karyawan swasta, dan Henemia Hotmauli Purba, seorang mahasiswa. Keduanya menguji Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan khususnya pada frasa “atas izin Jaksa Agung”. Ketentuan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan menyebutkan bahwa proses pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap seorang jaksa hanya dapat dilakukan dengan izin dari Jaksa Agung.

Dalam persidangan, kuasa hukum para Pemohon, Leonardo Olefins Hamonangan, menyatakan bahwa ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Ia pun merujuk pada Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 yang mengatur teknis pemberian izin tersebut.

“Ketika proses penindakan terhadap jaksa bergantung pada izin dari Jaksa Agung, sangat mungkin terjadi konflik kepentingan. Apalagi jika jaksa yang diperiksa memiliki kedekatan dengan pimpinan,” ujar Leonardo dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo bersama Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.

Sebagai bukti, Pemohon melampirkan kasus dugaan tindak pidana asusila yang dilakukan oleh seorang jaksa berinisial Aj di Kejati Kalimantan Barat pada 2018. Kasus ini dinilai mencerminkan adanya hambatan dalam penegakan hukum terhadap aparat penegak hukum sendiri, mengingat hingga kini belum ada kejelasan mengenai perkembangan penanganannya.

Leonardo juga menyoroti ketimpangan antar-lembaga penegak hukum akibat aturan ini. “Kepolisian atau KPK tidak memiliki mekanisme serupa dan bisa diperiksa secara langsung. Sementara pemeriksaan terhadap jaksa harus melewati izin Jaksa Agung. Akibatnya, proses penanganan kasus yang melibatkan jaksa bisa terhambat dan menimbulkan gesekan antar-lembaga,” ungkapnya.

Tak hanya itu, mekanisme izin dari Jaksa Agung berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik atau pribadi. “Tidak ada batas waktu yang pasti dalam proses pemberian izin, sehingga bisa menjadi celah bagi oknum jaksa untuk menghindar dari proses hukum,” tambah Leonardo.

Atas dasar itu, para Pemohon meminta MK menyatakan frasa “atas izin Jaksa Agung” dalam Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan sejumlah catatan kepada para Pemohon. Enny menyarankan agar para Pemohon mencantumkan secara lengkap isi dari norma Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan yang menjadi objek pengujian. Enny juga menekankan pentingnya uraian yang jelas mengenai kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon akibat berlakunya norma tersebut.

“Saudara cantumkan lengkap norma tersebut, kemudian dianalisis secara utuh dalam kaitannya dengan argumentasi legal standing. Termasuk juga konsistensinya perlu ditunjukkan,” ujar Enny dalam persidangan.

Di akhir persidangan, Majelis Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kepada para Pemohon untuk memperbaiki dan menyempurnakan permohonan mereka. Perbaikan tersebut harus sudah diterima oleh Mahkamah Konstitusi paling lambat pada tanggal 6 Mei 2025.

source: mkri.id

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed