Komandan GPK Aliansi Tepi Barat Pujiyanto akrab dengan sebutan Yanto Petok’s beserta jajaran pengurus dan ribuan anggotanya di Kantor DPRD kabupaten Magelang, Pada Rabu ( 26/2/2025).
Suarakejaksaan.com – Jawa Tengah, Ribuan masa Gerakan Pemuda Ka’bah ( GPK ) Aliansi Tepi Barat beserta sayap sayapnya turun ke jalan kembali melaksanakan aksi damai di kantor DPRD kabupaten Magelang menuntut dan menagih janji atas statmen dan program Forum Kordinasi Pimpinan Daerah ( Forkopimda ) dan Kementerian Agama (Kemenag) kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Pada, Rabu ( 26/2/2025).
“Selain menyampaikan kritikan terhadap pemerintah daerah GPK Aliansi Tepi Barat juga mengkritisi pemerintah dan kebijakan yang ada di daerah”.
Komandan Gerakan Pemuda Ka’bah GPK Aliansi Tepi Barat beserta sayap sayapnya berkomitmen akan terus berjuang tanpa kenal lelah demi kepentingan masyarakat, GPK Aliansi Tepi Barat akan selalu menjadi kontrol sistem birokrasi di kabupaten Magelang, Pihaknya mendatangi kembali kantor DPRD kabupaten Magelang untuk merespon serta mengkritik sistem tatanan pemerintahan kabupaten Magelang yang tidak jelas.
GPK Aliansi Tepi Barat menyoroti sejarah perjalanan sistem pemerintahan kabupaten Magelang baru kali ini, Bisa duduk barengnya antara lembaga eksekutif dan legislatif berkat perjuangan PJ Bupati Magelang Sepyo Achanto, S.H., M.H selama menjabat, Artinya tatanan sistem pemerintahan kabupaten Magelang pada periode sebelumnya tidak ada sinkronisasi antara legislatif dan eksekutif.
Terungkapnya sejumlah kasus kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan berbasis agama di kabupaten Magelang dikhawatirkan menjadi fenomena gunung es. Audit menyeluruh semua lembaga pendidikan terutama pondok pesantren yang ada di Magelang mendesak harus segera dilakukan.
Komandan Gerakan Pemuda Ka’bah GPK Aliansi Tepi Barat Pujiyanto akrab dengan sebutan Yanto Petok’s mengatakan Kementerian Agama (Kemenag) harus bertanggung jawab terkait meningkatnya kasus kekerasan seksual di pondok pesantren di wilayah kabupaten Magelang.
Pondok Pesantren ( Ponpes ) dibawah Kementrian Agama artinya harus tanggung jawab untuk melakukan evaluasi dengan menjalankan sistem pengawasan terhadap aktivitas pondok pesantren tersebut,” sementara Kasus pelecehan seksual yang di lakukan oleh oknum kyai pimpinan pondok pesantren terhadap para santriwatinya di Kabupaten Magelang terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Lonjakan kasus ini menimbulkan keprihatinan mendalam bagi masyarakat karena korbannya terus bertambah setiap tahun, Ungkapnya.
Penegakan hukum terhadap pelaku seharusnya tanpa memandang ketokohan atau status sosial. Hal ini menjadi bagian penting dalam menangani kasus kekerasan seksual yang di lakukan oleh para oknum kyai. Serta, Pencegahan juga harus menjadi prioritas utama. Sayangnya, upaya pemerintah daerah kabupaten Magelang baik melalui Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (Dinsos-P3AP2KB) dinilai masih sangat minim, Terlebih Kantor Kementerian Agama ( Kemenag ) kabupaten Magelang sejauh ini belum melakukan tindakan yang nyata. Selain belum terlihat menjalankan langkah yang konkret juga terkesan melakukan pembiaran terhadap pondok pesantren yang tidak resmi ataupun jelas – jelas bermasalah. Terbukti dari pembiaran papan nama pondok pesantren Irsyadul Mubtadiin di kecamatan Tempuran yang tetap terpasang meskipun pemiliknya terseret kasus kekerasan seksual yang sangat viral . Lebih mengejutkannya lagi perihal data kemenag tentang jumlah pondok pesantren yang ada di kabupaten Kemenag berbeda dengan data yang ada di pemerintah daerah juga di DPRD kabupaten Magelang, Lanjtnya.
“Pernyataan ini semakin memperjelas bahwa ada masalah serius dalam koordinasi terutama dalam pengelolaan anggaran untuk pondok pesantren yang ada di kabupaten Magelang. Disini sudah jelas selama ini tidak ada ketegasan pemerintah daerah terutama kemenag dalam menekan angka kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren kabupaten Magelang”, Ungkapnya.
Kondisi ini turut mencoreng prestasi Kabupaten Magelang yang mendapatkan julukan kota santri yang seharusnya mencerminkan lingkungan agamis yang kondusif dan aman bagi masyarakat terutama kenyamanan santri dan santriwati untuk memberikan menuntut ilmu Akhlaqulkarimah. Namun, Kenyataannya, angka kasus pelecehan seksual terhadap santri santriwati pondok pesantren di Kabupaten Magelang terus meningkat, Jelasnya.
Berdasarkan catatan, jumlah kasus kejahatan seksual terhadap Santri – santriwati kabupaten Magelang terus bertambah setiap tahunnya. Dimana dari tahun 2022 sampai tahun 2024 yang juga menyeret nama tokoh panutan umat kabupaten Magelang sekaligus pimpinan pondok pesantren Irsyadul Mubtadiin bernama Ahmad Labib Asrori yang mencabuli empat santriwatinya sendiri saat ini sudah mendekam di jeruji besi dengan putusan pengadilan 15 tahun penjara. Informasi sebelumnya Labib merupakan tokoh panutan umat kabupaten Magelang dan pernah menjabat sebagai ketua DPRD kabupaten Magelang dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa ( PKB ), Tokoh Nahdlatul Ulama pernah menjabat sebagai ketua Khatib Syuriah PCNU Magelang, Merupakan Pendiri Jamaah Kopdariah (Jamkop) Magelang, dan juga Menjadi salah satu dosen di STAI Syubbanul Wathon Magelang. Mayoritas pelaku kekerasan seksual terhadap santri – santriwati adalah oknum kyai pimpinan pondok pesantren, Lanjutnya.
Dalam pernyataanya di hadapan Forkopimda dan jajaranya, Yanto Petok’s mengecam keras melihat tren peningkatan kasus kekerasan di balik jubah Agama, Disini Terlihat dengan jelas bahwa tidak ada upaya perlindungan terhadap santri santriwati pondok pesantren di wilayah kabupaten Magelang. Perlu dipertanyakan kinerja kelembagaan yang menaungi pondok pesantren yaitu kementerian agama ( Kemenag ) Kabupaten Magelang. Dugaan kuat tidak bisa bekerja dengan baik apa lagi melakukan pencegahan yang efektif, tidak pernah melakukan pendampingan bagi para korban yang seharusnya menjadi langkah penting untuk memulihkan kondisi psikologis mereka. Hal ini tidak menutup kemungkinan kasus serupa kemungkinan akan terus bertambah.
Melalui aksi damai di iringi mesin mesin perjuangan ribuan masa Gerakan Pemuda Ka’bah GPK Aliansi Tepi Barat beserta sayap sayapnya datang kembali ke kantor DPRD kabupaten Magelang untuk menagih janji dan beraudiensi dengan Forkopimda dan Kemenag kabupaten Magelang atas dorongan keresahan yang ada di tengah Masyarakat. Pemerintah daerah terutama kemenag harus segera mengambil tindakan nyata bukan sebatas statmen dan program. Serta memperkuat peran aparat dalam menangani kasus-kasus pelecehan seksual secara lebih serius tanpa memandang ketokohan atau status sosial, Tegasnya.
Jika Forkopimda dan Jajaran DPRD kabupaten Magelang tidak evaluasi perbaikan yang nyata maka jangan salahkan kami masyarakat kabupaten Magelang datang dan membubarkan dengan paksa adanya kantor kemenag di kabupaten Magelang yang tidak bisa bekerja dengan baik. Dan jika kemenag kabupaten Magelang tidak bisa tegas untuk membubarkan Jamaah kopdariah ( Jamkop ) yang didirikan Ahmad Labib Asrori pelaku kekerasan seksual terhadap empat santriwatinya maka kami GPK Aliansi Tepi Barat bersama seluruh komponen masyarakat yang akan membubarkannya.
Kondisifitas kabupaten Magelang tergantung pada tatanan sistem pemerintahan yang Jelas. Selain keprihatinan terhadap kekerasan seksual di pondok pesantren di kabupaten Magelang terus meningkat , Juga julukan Kota Santri yang diperoleh Magelang selama ini hanya akan menjadi gelar tanpa makna.
Selama ini kami dari GPK Aliansi Tepi Barat beserta sayap sayapnya selalu berkomitmen untuk menjaga kondusifitas kabupaten Magelang dan akan selalu menjadi kontrol sistem birokrasi. Tindakan yang dilakukan dengan nyata mengawal empat korban korban kekerasan seksual pondok pesantren di kabupaten Magelang mencari keadilan, Meskipun hampir tanpa bantuan dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait. Bahkan, dalam banyak kasus.
Kami GPK Aliansi Tepi Barat akan turun ke jalan jika suara kami yang membawa aspirasi masyarakat tidak lagi didengarkan, Maka suara gemuruh ribuan mesin perjuangan kamilah yang di suarakan untuk mewakili suara rakyat yang di sajikan untuk pemerintah, Tentunya kordinasi terlebih dahulu dengan baik dengan instansi terkait, Lanjutnya
GPK Aliansi Tepi Barat beserta sayap sayapnya menyoroti kekerasan seksual pondok pesantren yang ada di kabupaten Magelang akibat sangat lemahnya respons OPD terkait dalam menangani kasus ini juga dikarenakan adanya diskriminasi penegakan hukum terhadap status sosial.
Pemerintah daerah terutama kemenag kabupaten Magelang seharusnya benar-benar berperan aktif, jangan hanya berpangku tangan. Jangan sampai ketika masalah selesai, baru sibuk mengurus program dan statmen tanpa ketegasan yang dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, Ungkapnya.
Di kesempatan yang sama, Sekjen GPK Aliansi Tepi Barat Akhmad Solihuddin S.H dan rekan menyampaikan bahwa, Forkopimda kabupaten Magelang sampai saat ini belum melakukan tindakan apapun terkait masalah kasus besar di tahun 2020 yang masih mandek, Yakni mengenai program aplikasi Jaga dan Kawal Dana Desa Kerjasama Kejari dan Pemkab Magelang “ SiJaka” tahun 2020 (jaga dan kawal) dana desa ini, Semula bertujuan untuk membantu 367 Kepala Desa di wilayah Kabupaten Magelang guna menghindari kekeliruan, kekhilafan, dan kesalahan dalam penggunaan dana desa supaya terhindar dari tindakan represif atau pidana. Besarnya biaya Aplikasi pengawasan dana desa di Kejaksaan Negeri Kabupaten Magelang sangat dikeluhkan beberapa Kepala Desa. Setiap Desa harus keluarkan Rp.8 juta yang diambilkan dari uang pribadi kepala desa tersebut, Untuk Aplikasi Jaga dan Kawal Dana Desa Kerjasama Kejari dan Pemkab Magelang “SiJaka” (Jaga dan kawal).
Jika dikalkulasikan dengan jumlah desa yang ada di Kabupaten Magelang maka akan terkumpul Rp.2,9 Miliar lebih untuk sebuah Aplikasi pengawasan di Kejaksaan Negeri Magelang”. Jelasnya.
Tetapi Program Aplikasi Sistem Informasi Jaga Kawal Dana Desa (SiJaka) di Kabupaten Magelang ini telah dibatalkan bupati melalui surat edaran Nomor 100/197/01.01/2020 pada tanggal 7 Agusutus 2020 lalu tanpa mempertimbangkan dana yang dikeluakan untuk biaya aplikasi tersebut Rp. 8 juta/desa. Berarti ada sekitar Rp.2,9 milyar.
Lalu kemana selama ini dana tersebut jika program aplikasi SiJaKa tidak berjalan ??
Kenapa sampai saat ini kasus besar yang menyeret nama mantan publik figur kabupaten Magelang tidak berjalan ? Tanyanya.
Menanggapi sejumlah permasalahan yang yang ada di wilayah Magelang yang di sampaikan oleh ribuan masa GPK Aliansi Tepi Barat beserta sayap sayapnya yang membawa aspirasi masyarakat, Maka forkopimda Kabupaten Magelang baik lembaga eksekutif dan legislatif akan segera melakukan tindakan langkah kongkret yang nyata dan mempelajari kembali lebih detail kasus Aplikasi si JAKA yang mandek di tahun 2020.
Sampai berita ini di terbitkan awak media Suarakejaksaan.com masih menunggu informasi dari pihak pihak terkait tentang perkembangan kasus “Si Jaka” yang masih mandek di tahun 2020.
( TRI )
Komentar