Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) RI meminta kepada masyarakat segera melapor apabila ada oknum yang melakukan praktik jual beli keadilan restoratif (restorative justice) di kalangan penegak hukum, terutama di lingkungan kejaksaan. Hal itu menyusul adanya isu praktik jual beli restorative justice dari anggota DPR.
Termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menyinggung kasus pemerkosaan di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM).
“Untuk itu, kami berharap jika masyarakat menemukan adanya tindakan indisipliner, ketidak profesionalan, penyalahgunaan kewenangan dan tindakan-tindakan tercela yang dapat mencederai rasa keadilan dan mengganggu berbagai kegiatan masyarakat, mohon kiranya dilaporkan kepada pimpinan Kejaksaan,” kata Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana dalam keterangannya dikutip Kamis (19/1/2023).
Pelaksanaan restorative justice dalam suatu kasus atau perkara yang sudah tahap II, memiliki batasan limitatif yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 antara lain:
(1) pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis); (2) ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun; (3) kerugian yang diderita korban tidak lebih dari Rp2.500.000; (4) dan yang paling penting tindak pidana yang dilakukan tidak berdampak luas ke masyarakat.
“Dari persyaratan tersebut, kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual termasuk eksploitasi seksual, tidak termasuk dalam kategori kasus yang bisa dihentikan berdasarkan keadilan restoratif,” tegasnya
“Di samping itu, kasus pemerkosaan menimbulkan traumatis berkepanjangan terhadap korban juga berdampak luas kepada masyarakat,” tambah Ketut.
Dengan demikian, Ketut menyampaikan pihaknya sangat terbuka apabila ada kritik dan saran atas pelaksanaan restorative justice di setiap daerah. Agar menjadi perbaikan fungsi pengawasan terhadap jajaran Kejaksaan yang menyalahgunakan kewenangan terhadap pelaksanaan restorative justice.
(HT).
Komentar