Jaksa Agung ST Burhanuddin menilai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku saat ini sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Terutama di era disrupsi teknologi digital.
Menurutnya, KUHAP sebagai dasar hukum acara pidana di Indonesia sudah berusia lebih dari 40 tahun, sehingga pembaharuan menjadi sebuah keniscayaan.
“Menurut hemat kami, pembaharuan hukum acara pidana nasional melalui perubahan KUHAP harus kita lakukan. Ini mengingat KUHAP telah berusia lebih dari 40 tahun, sehingga dipandang tidak sesuai lagi dengan perubahan paradigma dan perkembangan hukum yang ada di dalam masyarakat,” kata Burhanuddin dalam seminar terkait Revisi KUHAP di Universitas Jenderal Soedirman, Jawa Tengah, yang ditayangkan di akun YouTube FH Unsoed, Senin (16/6/2025).
Burhanuddin menyebut sistem hukum acara pidana yang baru harus lebih adaptif dan mampu merespons dinamika sosial yang berkembang pesat. Terutama yang berkaitan dengan teknologi digital, salah satunya adalah kemunculan kripto sebagai mata uang digital.
Burhanuddin menilai, KUHAP atau Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 itu tak bisa mengakomodir transaksi kripto.
“KUHAP sebagai produk hukum yang statis dan kaku tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan dinamika perubahan sosial yang begitu cepat. Di era disrupsi teknologi saat ini, keterbatasan KUHAP semakin terlihat jelas, mulai dari ketidakmampuannya mengakomodasi perkembangan teknologi digital yang masif, seperti bukti elektronik, penyadapan virtual, atau transaksi kripto,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa KUHAP saat ini belum mampu menjawab tantangan dalam menghadapi modus-modus kejahatan baru yang semakin canggih, termasuk kejahatan korporasi yang kompleks.
Karena itu, Burhanuddin menilai reformasi KUHAP tak hanya penting untuk menciptakan kepastian hukum, tapi juga untuk menjamin keadilan substantif di tengah masyarakat yang terus berubah.
“Padahal hukum acara pidana idealnya harus beradaptif agar menjadi alat yang efektif dalam penegakan hukum, bukan justru menjadi penghambat karena tidak relevan dengan realitas kekinian,” katanya.
Ia pun menekankan bahwa KUHAP merupakan produk warisan era Orde Baru yang telah usang. Revisi KUHAP sangat diperlukan agar dapat disesuaikan dengan perkembangan teknologi hingga hukum internasional yang telah diratifikasi.
“Kita menyadari bahwa KUHAP yang saat ini berlaku merupakan produk warisan orde baru pada tahun 1981, yang sudah usang, yang sudah tidak sepenuhnya relevan dengan perkembangan masyarakat, teknologi, dan hukum internasional,” tandasnya.
Source: Kumparan