oleh

Secara Regulasi, Bolehkah Kejagung Menyadap Warga Sipil?

Koalisi masyarakat sipil melihat kerja sama antara Kejaksaan Agung dengan operator telekomunikasi sebagai ancaman serius terhadap hak privasi warga negara.

Kerja sama yang dijalin oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan empat operator telekomunikasi dalam rangka mempermudah proses penyadapan untuk kepentingan penindakan hukum menimbulkan perdebatan di ruang publik.

Kejagung beralasan bahwa langkah ini bertujuan untuk memfasilitasi akses tim penyidik terhadap data dan informasi terbatas, sekaligus mempermudah pelaksanaan penyadapan secara legal sesuai ketentuan perundang-undangan. Di satu sisi, kebijakan ini turut menimbulkan kekhawatiran dari sejumlah kalangan masyarakat, terutama terkait potensi pelanggaran terhadap hak privasi warga negara.

Koalisi masyarakat sipil menyoroti kerja sama antara Kejaksaan Agung dan empat operator telekomunikasi sebagai ancaman serius terhadap perlindungan hak atas privasi warga negara. Mereka menilai, langkah tersebut berpotensi melanggar konstitusi, khususnya Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, yang menjamin hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, serta hak atas rasa aman.

“Selain itu, Pasal 30C UU No. 11/2021 sendiri sebenarnya telah memberikan batasan yang tegas dan limitatif, terkait penggunaan wewenang penyadapan ini, yang harus didasarkan pada undang-undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan, dan hanya yang terkait dengan penanganan tindak pidana,” bunyi keterangan koalisi masyarakat sipil melalui keterangan resmi, Kamis (26/6/2025).

Koalisi ini, yang terdiri dari sejumlah lembaga, seperti Raksha Initiatives, Dejure, Centra Initiative, Imparsial, HRWG, ELSAM dan ICJR, menyebut praktik penyadapan hanya dimungkinkan dilakukan secara lawful, dengan alasan keamanan nasional atau penegakan hukum, sepanjang memenuhi kaidah dan prinsip pembatasan (permissible restriction).

“Sedangkan materi MoU antara Kejagung dan operator telekomunikasi, tidak secara ketat mengatur mengenai durasi atau jangka waktu dilakukannya tindakan penyadapan atau bentuksurveillance lainnya, maupun otorisasi atau proses perijinan dalam melakukan tindakan tersebut,” ujar koalisi.

Koalisi juga menyebut larangan untuk melakukan penyadapan sewenang-wenang ditegaskan Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang menyatakan, “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun”.

Artinya, tanpa memenuhi sejumlah persyaratan dan prosedur, tindakan penyadapan yang melibatkan operator telekomunikasi, dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran hukum.

“Suatu tindakan penyadapan hanya dibolehkan (lawful) bilamana memenuhi beberapa prasyarat berikut: (i) adanya otoritas resmi yang ditunjuk oleh Undang-Undang untuk memberikan izin penyadapan (biasanya Ketua Pengadilan), (ii) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan, (iii) pembatasan penanganan materi hasil penyadapan, dan (iv) pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan,” tulis koalisi.

Terpisah, Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, menilai kerja sama antara Kejagung dan operator seluler juga berpotensi menimbulkan sejumlah risiko terhadap hak masyarakat sipil atas privasi. Menurutnya, akses langsung terhadap data telekomunikasi dan praktik penyadapan, tanpa pengawasan yang ketat, berpotensi melanggar hak privasi individu, terutama jika dilakukan tanpa adanya persetujuan (consent) eksplisit dari pemilik data.

“Risiko penyadapan dilakukan tanpa izin pengadilan, melanggar prinsip legalitas dan mengancam kebebasan sipil. Selain itu, ada potensi data digunakan untuk memantau, membungkam, atau menekan oposisi, aktivis, atau jurnalis,” ujarnya, Kamis (26/6/2025).

Nenden menambahkan, dari perspektif perlindungan data pribadi, kebijakan ini dinilai juga berpotensi bertentangan dengan prinsip-prinsip mendasar dalam Undang-Undang Nomor 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) seperti persetujuan, transparansi, dan minimasi data. Apalagi masyarakat tidak tahu (karena tidak ada penjelasan) berapa lama data disimpan dan bagaimana data yang tidak lagi relevan akan dihapus.

“Jika pertukaran data dan penyadapan dilakukan hanya berdasarkan Nota Kesepakatan atau ‘kebutuhan organisasi’ tanpa prosedur izin pengadilan yang ketat untuk setiap kasus individu, hal ini akan membuka celah penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran privasi warga secara sewenang-wenang. Hak konstitusional warga atas privasi dan rasa aman dari ancaman ketakutan dapat terlanggar,” ujarnya.

Lalu, bagaimana regulasi yang mengatur soal penyadapan di Indonesia?

Regulasi Soal Penyadapan di Indonesia

Peneliti bidang hukum dan regulasi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhamad Saleh, menyoroti belum adanya regulasi tunggal yang mengatur secara menyeluruh praktik penyadapan di Indonesia.

Menurutnya, saat ini penyadapan memang telah diatur dalam berbagai regulasi sektoral yang melekat pada masing-masing lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Namun, ia menilai pengaturan tersebut masih bersifat parsial dan belum memenuhi prinsip keseragaman serta akuntabilitas.

“Regulasi penyadapan di Indonesia hari ini sifatnya parsial semua. Polisi jalan dengan mekanismenya sendiri, KPK jalan dengan mekanismenya sendiri, Kejaksaan jalan dengan mekanismenya sendiri. Dan ada kecenderungan abuse karena standar yang berbeda-beda, pola SOP yang berbeda-beda, kebiasaan yang berbeda-beda,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (26/6/2025).

Mengacu pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Undang-Undang Kejaksaan, Saleh menjelaskan, praktik penyadapan hanya dibenarkan untuk kepentingan proses hukum atau pro justitia. Penyadapan tidak boleh digunakan untuk keperluan di luar proses penegakan hukum, apalagi dilakukan secara sewenang-wenang tanpa dasar yang sah.

“Penyelidikan-penyelidikan dia bisa. Tetapi itu pun tetap harus transparan ada SOP yang terukur. Kalau tidak ada upaya untuk melakukan penyadapan hukum, misalkan tidak ada indikasi tindak pidana, tidak ada indikasi orang itu akan lalai atau mengaburkan alat bukti dan barang bukti, dia tidak perlu ada penyadapan,” ujarnya.

Namun, karena Indonesia belum memiliki undang-undang khusus tentang penyadapan, praktik yang berlangsung saat ini cenderung tidak seragam. Setiap lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian akhirnya menerapkan standar pelaksanaan penyadapan yang berbeda-beda.

Salah satu contohnya adalah pola kerjasama Kejagung dengan operator telekomunikasi, yang menurut Saleh merupakan pendekatan baru dan belum dilakukan oleh lembaga lain. Di sini, Saleh menilai kehadiran RUU Penyadapan semakin urgen untuk segera dibahas, demi memastikan adanya standar baku yang berlaku lintas institusi dalam praktik penyadapan.

“Kemudian juga kita ingin juga itu diregulasi. Tidak berdasarkan diskresi penyidik. Tidak atas berdasarkan keinginan dari penyidik di masing-masing penegak hukum.Tapi ada regulasi yang akhirnya kita publik bisa melihat, mengoreksi, memberi masukan. SOP-SOP ini harus dibuka,” katanya.

Senada, dalam konteks hukum Indonesia, Koalisi Masyarakat Sipil turut menyoroti tidak adanya kepastian hukum penyadapan. Mengingat, sampai dengan saat ini, setidaknya terdapat 12 undang-undang yang memberikan kewenangan pengawasan bagi institusi keamanan, intelijen, dan penegak hukum, dengan batas kewenangan dan prosedur yang berbeda-beda.

Disahkannya UU PDP justru menambah tantangan baru terkait risiko kontrol institusi keamanan, intelijen, dan penegak hukum terhadap warga negara.

“Hal tersebut mengingat adanya pengecualian yang luas terhadap kepatuhan perlindungan data pribadi, khususnya bagi aparatur negara, dengan alasan pertahanan dan keamanan negara, penegakan hukum, dan kepentingan umum dalam penyelenggaraan negara,” bunyi pernyataan koalisi.

Operator Tak Bisa Serta Merta Berikan Data Pelanggan

Saleh dari CELIOS menyoroti aspek penting dari kerja sama Kejaksaan dengan empat operator telekomunikasi, khususnya terkait implikasi terhadap perlindungan data pribadi. Ia menekankan bahwa operator telekomunikasi sebagai pelaku usaha memiliki kewajiban hukum untuk tunduk pada UU PDP.

Dalam konteks ini, penyedia jasa telekomunikasi dinilai tidak dapat serta merta menyerahkan atau membagikan data pelanggan hanya karena adanya MoU dengan Kejaksaan.

“Provider itu harus sadar bahwa mereka itu bukan pemilik data. Otoritas data yang mereka pakai tidak sepenuhnya menjadi milik mereka. Mereka (operator) juga wajib melakukan pengelolaan dan manajemen data yang dilindungi oleh Undang-Undang PDP. Nah, maka harusclear dulu pertukaran data ini apa. Dan kenapa harus menarik provider,” katanya.

Semantara itu, Nenden dari SAFENet, menilai dalam MoU antara Kejaksaan Agung dan operator ini, ada sejumlah aspek krusial yang perlu diawasi ketat agar tidak menimbulkan pelanggaran terhadap hak warga negara.

Salah satu hal yang ia soroti adalah tanggung jawab penyedia layanan telekomunikasi untuk bersikap transparan kepada pelanggannya.

“Mereka harus terbuka kepada penggunanya terkait pertukaran data pengguna tersebut dengan memberitahukan apa saja data yang diberikan kepada kejaksaan dan bagaimana penentuan “kepentingan penegakan hukum” akan dilakukan,” ujarnya.

“Ini harus ada keputusan pengadilan yg menyatakan bahwa seseorang bisa ditentukan boleh disadap atau tidak. karena jika tidak ada dasarnya, maka rentan disalahgunakan untuk setiap orang yg dianggap “berbahaya” oleh negara,” katanya.

Desakan Koalisi Masyarakat Sipil


Menyikapi situasi di atas, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Kejaksaan Agung untuk segera membatalkan nota kesepakatan terkait penyadapan dengan operator telekomunikasi, dikarenakan MoU tersebut secara eksplisit bertentangan dengan Pasal 40 UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi.

“Sementara secara hukum, syarat sah suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata, salah satunya adalah adanya causa yang halal, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,” bunyi keterangan koalisi.

Koalisi juga mendesak Kejagung dalam penggunaan wewenang penyadapan, untuk memastikan kepatuhan terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyadapan, guna menjamin perlindungan hak atas privasi warga negara, dan menghindari tindakan penyadapan sewenang-wenang (arbitrary surveillance).

“Operator telekomunikasi harus memastikan kepatuhannya terhadap UU Telekomunikasi, terkait dengan larangan penyadapan, yang juga merupakan bagian dari komitmen perlindungan terhadap konsumen mereka, untuk melindungi privasi konsumen,” ujarnya.

Terakhir, koalisi mendesak Presiden dan DPR untuk menyegerakan proses pembahasan RUU tentang Penyadapan. Hal ini untuk menjamin adanya kepastian hukum penyadapan, selain juga secara jelas merumuskan pengaturan mengenai prosedur penyadapan dalam penanganan tindak pidana dalam materi revisi UU Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Penjelasan Kejagung

Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel), Reda Manthovani, menjelaskan bahwa kerja sama ini akan memudahkan tim penyidik mengakses data dan informasi yang bersifat terbatas. Selain itu, ia mempermudah penyadapan informasi secara legal sesuai ketentuan perundang-undangan.

Reda menegaskan bahwa kerja sama ini penting untuk proses penegakan hukum, terutama dalam menghadirkan informasi yang kredibel untuk melakukan pengejaran pelaku kejahatan, terutama buronan. Dia mencontohkan dengan dukungan operator telekomunikasi, keberadaan seorang buronan bisa dilacak lewat sinyal telekomunikasi secara real time,bahkan hingga rekaman komunikasi terakhir.

Dia juga memastikan bahwa kerja sama ini diatur dalam Pasal 30B UU Nomor 11 tahun 2021, atau UU Kejaksaan RI, yang memberi kewenangan kepada bidang intelijen kejaksaan untuk melakukan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan demi kepentingan penegakan hukum.

“Dengan adanya kerja sama ini, kami yakin dan percaya kolaborasi antara Kejaksaan RI dan penyedia jasa telekomunikasi dapat memberikan manfaat bagi kemajuan penegakan hukum di Indonesia,” ujar Reda dalam keterangan tertulis, Rabu (25/6/2025).

Source: tirto.id – News